Mentari seakan larut ditelan awan hitam, terus
larut hingga jatuh ke bumi menjadi hujan . Peristiwa itu menemani sejasad tubuh
yang diam dan masih saja belum beranjak dari tempat duduknya. Meski hawa dingin
terasa menusuk kulit, ia seakan tak peduli. Sesosok yang ternyata aku itu
membisu bertopang dagu, sepasang mata ini menerawang bayangan kosong, seakan
menantang bangunan sekolah yang teguh berdiri walaupun diserbu ribuan titik
air.
Pelan menerawang langit yang mulai mengurangi
titik airnya, lagi-lagi pikiranku mengembara tanpa sempat kucegah. Bayangan
seorang yang tak pernah menatapku, begitu lekat di benak. Begitu lekatnya,
hingga mampu mengusir hiruk pikuk siswa di taman ini.
dan itu satu-satunya yang membuatku kian terpuruk.
dan itu satu-satunya yang membuatku kian terpuruk.
Membuatku seolah-olah seorang pecundang. Yang
begitu saja mengusik ketenangan hari-hari orang lain.
Tapi salahkah aku jika bersimpati padanya?
Inikah yang dikata teman-teman sebagai cinta? Atau haruskah rasa itu kubunuh
saat tahu dia tak menginginkanku? Tapi bagaimana mungkin. Toh lelaki itu tak
pernah sekalipun bercakap sepatah kata padaku,apalagi mengenalku? Apalagi tahu
perasaanku?
Mestinya aku mempunyai hak untuk bersimpati
padanya. Walaupun itu berarti aku harus bersaing keras dengan segala perbedaan
antara aku dengannya. Dia, yang menurutku hampir sempurna. Dia dengan tutur
bahasanya yang halus. Dengan cara pandang yang jauh melebihi aku padahal ia
hanya beberapa bulan mendahuluiku memijak bumi. Dia,dengan segala
kemandiriannya. Tak kupungkiri pula, fisiknya yang teramat memikat.
Dan semua yang ada pada dirinya tentu tak
sebanding denganku yang berparas biasa saja, otak secukupnya, bergantung pada
orangtua, pada intinya aku TAK MENARIK.
Sejenak aku berhenti bernafas,
menutup mataku untuk kemudian kubuka lagi dan kuhembuskan nafasku lagi. Kedua jarum
jam menunjuk angka sepuluh. Kini titik air tak lagi berasal dari langit. Hanya
tersisa dari dahan pohon-pohon di taman serta ujung atap tinggi bangunan
sekolah. Dingin yang menusuk telah beralih menjadi sejuk.
Dan ketika suasana mulai terang akan sinar
bening sang mentari,sedikit demi sedikit aku mulai beringsut, dan tak lama pun
beranjak pergi, masih membawa sejejak harapan yang selama beberapa bulan ini
kian erat kupeluk.
Pelan menjejaki jejalanan yang berhiaskan
kerikil-kerikil , pikiranku masih berkelana. Sejenak langkahku melemah seiring
jiwaku yang goncang. Hingga aku berhenti pada satu tempat dan duduk di sebuah
kursi di sana. Kepalaku seakan ditarik ke arah kanan dan sedetik kemudian
jantungku seakan jatuh dari tempatnya. Oh Tuhan..itu dia,hanya memasang
pandangan ke bawah. Meninggalkan jejak angin tepat di depanku. Mataku takut
untuk mengekor padanya. Dan untuk sekian kali aku melempar pandangan kosong.
(bersambung ...)
ditunggu loohh.. :)kalo mau ngasih saran lanjutan ceritanya, komen aja..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
comment this entry